Boelan Sabit


Mitsaqan Ghalizhan
Juni 27, 2011, 8:57 pm
Filed under: ordinary, renungan

Ada yang besar dan berat dalam Perjanjian  ini.  Hati yang menerima, jiwa yang rela, sikap yang menenteramkan, dan kesediaan untuk berjuang bersama.

Sudah siapkah kita?,  kutanyakan padamu juga pada diriku.

Dan lubuk hatiku pun menjawab dengan lantang, Insya’Alloh.

Jakarta, 27 Juni 2011



Al-lathiif
Agustus 9, 2010, 9:18 pm
Filed under: renungan

Alloh adalah Yang Maha Lembut, Pemaaf dan Pemurah. Itulah sifat yang mestinya coba kita tiru dan resapi. Sama seperti ketika anak2 desa yang polos melihat pohon mangga yang berbuah di pinggir sawah, mereka melemparinya dengan bebatuan untuk mendapatkan buahnya. Dan ribuan batu yang menghujamnya tak lekas membuat pohon itu untuk menghujam balik. Bahkan setiap kali ditimpuki, pohon itu justru menghadiahi dengan buahnya.

Begitulah seharusnya manusia, kudu sadar bahwa hidup bukanlah ladang untuk mencaci atau memaki, melainkan ladang untuk berbuat kebaikan pada siapapun termasuk pada orang yang gemar menyakitinya. Seperti halnya Muhammad, Rosululloh, yang tidak pernah membenci seorang yahudi yang selalu meludahi beliau setiap kali melintas di depan rumahnya. Muhammad justru menghadiahinya dengan kunjungan yang menentramkan hati ketika si yahudi jatuh sakit. Tak satupun cacian, makian atau sumpah serapah keluar dari bibir beliau, melainkan senyuman. Muhammad, sang Utusan, sadar bahwa hidup adalah ladang untuk menanam kebaikan dan pengabdian kepada Alloh dan sesama. Hingga tercerminlah wajah Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, bukan wajah kekerasan dan kemarahan.

Terkadang menjadi Air yang lembut, lebih baik dari pada menjadi Palu yang kuat dan perkasa. Air dengan kelembutan dan ketekunannya dapat mengukir batu menjadi pahatan yang elok, sedangkan Palu hanya bisa menghancurkannya.

.
*dan preman-preman itu tetap saja berkeliaran. Berbaris rapi di balik seragam fanatisme golongan, ke-suku-an dan agama mereka.



ibu
Mei 25, 2010, 7:10 pm
Filed under: renungan

Ibu. Wanita yg daripadamu aku mendapat air kehidupan. Daripadamu aku dibesarkan dgn kasih sayang. Dan daripadamu aku belajar akan cinta, alam dan Tuhan. Wanita yg tak akan pernah berani kupersamakan dengan wanita manapun di dunia.

Aku sadar, seberapapun kuat usaha, hutangku tak akan pernah impas. Aku cuma bisa berdoa, agar Alloh slalu memberiku kekuatan untuk membalas hutang kebaikanmu itu. Aku berdoa smg Alloh berkenan menghapus sgl salahmu dan menerima amal ibadahmu. Meng-hisab tiap debu di tiap langkahmu, tiap tetes darah, keringat dan air mata yang tercecer slm membesarkanku, sebagai untaian kebaikan yg menghantarkanmu kelak ke surga-Nya. Aku juga berdoa agar Alloh berkenan menjauhkan waktu itu. Waktu di saat aku tak akan bisa bermanja lagi dengan usapan bijak jemarimu di kepalaku. Waktu di saat terakhir kali-nya akan bisa kukecup hormat punggung tanganmu. Waktu di saat harus kumandikan dan kusholatkan tubuh suci-mu, atau sebaliknya. Aku ingin waktu itu masih jauh…

Ya Alloh, akan ku-Nadzar-kan tubuhku untuk jadi anak yang shalih. Karena kalau tidak, doa ku tidak akan mungkin Engkau terima.

.

*Mampang Prapatan, 25 Mei 10.00 WIB. Di sebelah driver-kantor yg sdg mengemudi dgn gugupnya sambil berkaca2 matanya menahan tangis, setelah menerima kabar ibunda tercintanya baru saja meninggal dunia.